.

.

Miya Alexa Master of Ceremony

Wedding | Seminar | Talkshow | Gathering | Dinner Etc.
Fluent in English & Indonesia
.
Smart, Sexy elegant, Warmest and Cheerful person with negotiable fee.

Wedding
Traditional Wedding | Modern Wedding | International Wedding (English-Indonesia) | Akad Nikah & Resepsi | Formal Wedding | Casual Reception | Etc.

MC All Event
Seminar | Moderator | Talkshow | Dinner Etc.



March 14, 2012

Apa Ibuku Tau ?

Sebulan yang lalu saya menemukan ini di tumpukan benda-benda lama yg sudah berdebu, kertasnya sudah lusuh dan tersiram kopi.














Apa ibuku tau kalau sekarang aku sendirian ?
Apa ibuku tau kalau nilai Jermanku 6 ?
Apa ibuku tau kalau tadi aku disepelekan orang ?
Apa ibuku tau saat aku jatuh di sekolah tadi ?
Apa ibuku tau kalau aku sedang ada masalah dengan Dwi teman sekelasku ?
Apa ibuku tau bahwa aku sedang jatuh cinta?
Apa ibuku tau bahwa aku termasuk 3 dari 46 siswa yang lulus pra UAN ?
Apa ibuku tau ada ada pria yang mengajakku nonton tadi malam ?
Apa ibuku tau tadi aku terlambat sekolah ?
Apa ibuku tau saat aku merasa sakit perut ?
( Kalau saja ia ada disini, ia pasti bertanya, makan apa aku tadi )
Apa ibuku tau aku bertengkar dengan Tessa ?
Apa ibuku tau kalau aku merindukannya ?
Apa ibuku tau bahwa tadi malam aku mimpi buruk ?
( Kalau saja ia ada disini, aku pasti berteriak memanggilnya )
Apa ibuku masih ingat lagu ciptaanku untuknya ?
Aku sedang mendengarkannya lho bu !
Apa ibuku tau bahwa aku ingin potong rambut ?
Apa ibuku tau sebentar lagi aku ujian ?
Apa ibuku tau kalau aku marah ?

Apa ibuku tau bahwa aku iri melihat teman gadis seusiaku membicarakan model baju yang sedang trend saat ini dengan ibunya ?
Apa ibuku tau kalau tiap malam aku sedih ?
Apa ibuku tau bahwa aku selalu memikirkannya ?
Apa ibuku tau ketika aku telat bangun karena baterai jam bekerku habis ?
Apa ibuku tau ketika aku ingin meneleponnya dan memberitahunya bahwa aku merindukannya ?
Apa ibuku tau saat aku kesal padanya ?
Apa ibuku tau saat aku tak tau cara memakai eyeshadow… dan tak tau harus bertanya pada siapa!
Apa ibuku tau bahwa rasa bingung, kesal, marah, dan sedih berkecamuk dalam hatiku ketika orang-orang bertanya “Mana ibumu?”
Apa ibuku tau bahwa aku merindukan “Dulu” ?
Apa ibuku tau ketika aku susah tidur ?
Apa ibuku tau saat aku ingin dicium olehnya ?
Sudah lama sekali ia tak memeluk dan menciumku sebelum ia tidur ataupun pergi bekerja.
Apa ibuku tau bahwa aku selalu melamun ?
Apa ibuku khawatir, pada siapa aku harus mengadu ketika aku pulang dengan tangisan karena seseorang mengecewakanku ?
Apa ibuku tau sekarang aku sedang menangis ?
Apa ibuku tau bahwa warna kesukaanku tidak lagi ungu ?

Apa ibuku tau bahwa mesin cucinya agak aneh akhir-akhir ini ?
Apa ibuku tau kalau buku-ku hilang ?
Apa ibuku tau bahwa aku ingin dia ada disini ?
Apa ibuku tau aku menunggu telepon darinya ?
Apa ibuku tau aku tidak sarapan waktu pergi ke sekolah tadi ?
Apa aku selalu sarapan ?
Apa ibuku tau saat aku kedinginan dan mencari cari kayu putih ?
( Andai ia disini, aku pasti bertanya padanya, karna ia pasti tau dimana ia menyimpan kayu putih )
Apa ibuku tau bahwa aku………..

Apa ibuku tau saat aku iri melihat Gita menangis di pelukan ibunya karna ia putus dengan pacarnya ?
Apa ibuku tau kalau hari ini aku malas belajar ?
Apa ibuku tau kalau kecengan-ku meneleponku ?
Apa ibuku tau bahwa aku juara nyanyi ?
Apa ibuku tau seragamku sobek saat aku main basket di sekolah ?
Apa ibuku tau aku dikhianati seseorang ?
Apa ibuku tau bahwa aku sedang bingung ?
Bu, aku lagi belajar masak lho !
Kapan pulang dan mencoba masakanku bu ?
Apa ibuku sudah membeli kado untuk adikku ?
Apa ibuku tau aku digigit nyamuk ?
Apa ibuku tau aku sedang memandang fotonya ?

“ Aku selalu merindukannya disaat aku sedih,
Aku selalu merindukannya disaat aku kesepian,
Tapi aku paling merindukannya disaat aku bahagia. “

Apa ibuku tau bahwa aku sudah lama tak makan sayur ?
Apa ibu merindukanku ya ?

(Someday in 2002)

"Sekarang Ibu sudah pulang dan mencoba masakanku. Ibu dari mana saja? Pergi begitu lama."

Dialog Yang Indah





















Dialog yang INDAH..

Aku (A): Tuhan, bolehkah aku bertanya PadaMU?
Tuhan (T): Tentu, hambaku. Silahkan
A: Tapi janji ya, Engkau takkan marah.
T: Ya, AKU janji.
A: Knapa KAU izinkan banyak HAL BURUK t’jadi padaku hari ini?
T: Apa Maksudmu?
A: Aku bangun terlambat.
T: Ya., Trus,
A: Mobilku mogok & butuh waktu lama tuk menyala.
T: Oke. Trus,
A: Roti yg kupesan dibuat tak seperti pesananku, hingga kumalas memakannya.
T: Hmm. Trus,
A: Dijalan pulang, HPku tiba2 mati saat aku b’bicara bisnis besar.
T: Benar. Trus,
A: Dan akhirnya, saat kusampai rumah, aku hanya ingin sedikit b’santai dg mesin pijat refleksi yg baru kubeli, tapi MATI! Knapa Tak ada yg LANCAR hari ini?
T: Biar KUperjelas HambaKU, ada malaikat kematian pagi tadi, dan AKU mengirimkan malaikatKU tuk b’perang melawannya agar tak ada hal buruk t’jadi padamu. KUbiarkan terTIDUR disaat itu.
A: Oh, tapi…
T: AKU tak biarkan mobilmu menyala TEPAT WAKTU karna ada pengemudi mabuk lewat didepan jalan & akan MENABRAKmu.
A: (merunduk)
T: Pembuat burgermu sedang sakit, AKU tak ingin kau tertular, oleh karenanya KUbuatnya salah bekerja.
A: (tarik nafas)
T: HPmu KUbuat mati karna mereka PENIPU, KUtak mungkin biarkanmu tertipu. Lagipula kan kacaukan KONSENTRASImu dlm mengemudi bila ada yg menghubungimu kala HP menyala.
A: (mataku berkaca-kaca) aku mengerti Tuhan
T: Soal mesin pijat refleksi, KUtau kau blm sempat beli voucher listrik, bila mesin itu nyalakan maka ambil banyak listrikmu, KU yakin kamu tak ingin berada dlm kegelapan.
A: (menangis tersedu) Maafkanku Tuhan.
T: Tak apa, tak perlu meminta maaf. Belajarlah tuk percaya PADAKU.
RencanaKU padamu lebih baik dari rencanamu sendiri.
Yakinlah bahwa Tuhan selalu baik
Yakinlah sgala Usahamu PASTI Sampai
Belajarlah tuk slalu bersyukur atas APAPUN yg terjadi.
Karna Smua Kan INDAH Pada Waktunya.

Untuk para Istri, suami, ataupun calon keduanya.

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus

Love, Lex.

Do NOT Anger Small Things

After the tragedy of 11 September 2001, a company invited employees of firms that survived during the attack on the WTC.
They were asked to describe their experiences. At that meeting, they told the stories of how they survived. And all the stories were all about ‘Small Things’. For example :

1.The Head of security at a company survived that day because he had to take his son to go to school on the first day.
2. An employee survived that day because she had to pick-up a cake for the kids.
3. A woman survived because she was late to the office because her alarm didn’t work properly.
4. Other employees survived because they missed the bus.
5. There was another employee who survived because she spilled food on her shirt so she needed time to change her clothes.
6. A man survived because his car broke down.
7. An old employee survived because he went back into the house to pick-up a ringing phone.
8. An employee survived because they had lazy kids who caused her to be late.
9. Several employees survived because they did not get a cab.
10. While a manager survived because his new shoes hurt his feet, and was forced to stop at a drugstore to buy plaster.

Therefore, if we are caught in the middle of traffic jams, have missed the cab, must go back into the house to answer the phone, can’t find the car keys, get stopped by the red light and everything looks very messy, so do not rush to anger or frustration because the ‘little things’ that annoy you.

Please Understand that God really wants us to be there, at that time.. Actually God is at work to keep our lives …

Love, Lex.

Selamat Ulang Tahun Ayah...

Ayah…

Apakah kalian pernah berfikir, kalau ayah yang selama ini tegar ternyata didalamnya rapuh dan sangat memiliki banyak kasih sayang dan kepercayaan terhadap kita.

Sebenarnya ayahlah yang paling peduli terhadap kita, mungkin dari sikapnya yang telalu dingin yang membuat kita merasa kalau dia seperti tidak peduli terhadap kita, justru kita malah berfikir ibulah yang sangat amat peduli terhadap keadaan kita.

Taukah kamu, pada saat ibu kita mau melahirkan kita ayah selalu berdoa kepada tuhan, ibu kita diberi kekuatan agar bisa melahirkan kita dan diberi keselamatan untuk kita dan ibu kita. Setelah kita lahir dia menangis karna senang anaknya telah lahir didunia ini.

Setelah kita beranjak menjadi anak-anak kita minta kepada dibelikan mainan yang kita inginkan dan ayah akan menjawab “iya nanti akan ayah belikan,tapi tidak sekarang” sebenernya dia ingin sekali langsung membelikan mainan tersebut untuk kita, tapi ia tidak ingin kita menjadi anak manja yang segalanya harus dituruti jadi dia bicara begitu.

Pada saat kita sudah bisa mengendarai sepeda roda empat, kita minta kepada ayah agar roda dua dibelakang dilepas dan menjadi sepeda roda dua, tetapi ibu selalu khawatir kalau nanti kita terjatuh atau ada apa-apa. Ayah selalu bilang kepada ibu kita “kalau tidak dicoba,dia tidak akan pernah bisa mengendarai sepeda” ,ayah bicara begitu bukan karna tidak peduli akan keselamatan kita tapi dia percaya bahwa kita bisa melakukannya.

Pada saat kita mulai beranjak remaja,kita mulai memperkenalkan dan membawa pacar kita kerumah.ayah pasti memasang wajah yang agar sedikit arogan bukan karna dia tidak suka,dia melalukan itu karna dia merasa sedih kehilangan kamu yang dulu selalu menghabiskan waktunya dengannya sekarang sudah mulai terbagi dengan kehadiran pacarmu.

Pada saat kamu pulang malam, ibulah yang menelponmu untuk segera pulang. Tapi taukah kamu siapa yang menyuruh ibumu telfon?ayahlah yang sangat menghawatirkan kamu, lalu ayah menyuruh ibu menelfonmu dan menanyakan keadaan kamu dan menyuruhmu segera pulang.

Pada saat lulus SMA dan kamu melanjutkan kuliah,ayah selalu mendukung apapun jurusan yang ingin kamu ambil. walaupun awalnya dia memaksa kamu untuk masuk kevakultas atau jurusan yang ia inginkan. Itu semua ia lakukan karna ia memikirkan masa depan kamu, tapi pada akhirnya kamu memilih jurusan lain pun ia tetap mendukungmu.

Pada hari wisudamu, ia menyempatkan diri untuk melihat pangeran kecilnya atau putri kecilnya dulu, yang sekarang sudah lulus sarjana. Ia lah orang yang pertama yang akan memberi selamat dan memberikan tepuk tangan pertama untukmu.

Setelah kamu mendapatkan pekerjaan tetap, kamu akan melangsungkan pernikahan dengan calon yang kamu inginkan dan pada saat itu ayah ibumu tentu sangatlah hati-hati untuk merestui hubungan kalian karna ayah berfikir dialah calon menantunya kelak dan dialah yang akan menggantikan posisi dirinya untuk anak perempuannya. Dia terseyum dan tak berkata sepatah kata pun bukan karna dia tak peduli atau tidak senang dengan pernikahan kamu, karna dia sedih kamu akan meninggalkan dia dan menjadi pemimpin keluarga atau menjadi pengikut suamimu. Melihatmu diatas pelaminan dan mengucap ijab kabul hatinye merasa senang dan bergemetar karna dia sangat takut untuk melepasmu, dan ia takut kalau kau salah memilih pasanganmu.

Hari demi hari menunggu berlangsungnya pernikahanmu, setiap ingin tidur ayah selalu membayangkan masa-masa kecilmu dulu. Ayah merasa waktu begitu cepat dan ayah sadar kau telah dewasa sekarang dan kau bukanlah putri kecil dan pangeran kecilnya lagi. Sesungguhnya ayah ingin sekali menangis karna dia senang tugas-tugasnya telah selesai mengurus dan mendidik kita sampai dewasa.

Setelah pernikahan itu selesai iya lega dan ia sadar rambutnya semakin hari semakin memutih,dan hari demi hari ayah menunggu kabar kehamilan anak/menantunya. Dia selalu berdoa agar dia diberikan hidup yang lebih lama agar bisa melihat cucu cucunya lahir. Pada saat dia mendengar anaknya hamil ayah sangatlah bahagia sampai akhirnya kamu memiliki anak dan sampai akhirnya ajal menjemputnya dan ayah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Disaat itulah kita baru sadar bahwa ayah sangat amat berarti juga untuk kita.

Jadi selama ini kita telah salah menilai ayah, ayah cerewet atau ayah sepertinya kurang peduli bukan karna dia tidak sayang pada kita.sesungguhnya ayahlah yang lebih peduli dari pada ibu karna ayah selalu berjuang agar kita tetap bisa sekolah dan ayahlah yang selalu mendukung dan memberi pelajaran kepada kita agar kita tidak menjadi anak yang mandiri kelak.

Selamat Ulang Tahun Ayah…..

(Untuk ayahku yg hebat Henhen Suherman, dan kakekku tercinta Kakek Talkanda)

01052011

Dibalik senyumannya...

Pagi ini dapat Bbm “Cantik” dari seorang sahabatku yg juga pramugari cantik.
Seperti inilah dia menginspirasi saya…

Ketika bepergian dengan pesawat -entah itu low-cost, penerbangan domestik, internasional apa pun namanya- kamu akan bertemu perempuan berseragam dan menyambutmu dengan senyum..

Kamu tidak pernah tahu :
Mereka dilatih masuk hutan & berenang di laut untuk menolongmu dalam kondisi terburuk,

Kamu tidak pernah tahu :
Mereka membagikan makanan untuk kamu, setelah itu baru dia makan untuk dirinya..

Kamu tidak pernah tahu :
Untuk cabin crew yg muslim.. Merka lebih sering tayamum daripada wudhu.. mereka shalat dengn duduk, di jump seatnya seolah baru sakit.. Mereka shalat tak tentu waktu karena mereka berpindah2 sengat cepat.. Mereka shalat tak tentu arah ka’bah.. Inilah keterbatasanku dalam pencarian nafkahku.. Bahkan antara aku & Sang Penciptaku..

Kamu tidak pernah tahu :
Saat pesawat panas karna AC error mereka juga kepanasan bukan hanya kamu.. Jadi berhentilah menggerutu pada mereka

Kamu tidak pernah tahu :
Mereka hari ini sudah menjalani 6x flight yang delay dengan penumpang yg menggerutu dan tetap harus tersenyum.. Senyumnyalah senjatanya

Kamu tidak pernah tahu :
Macam-macam penumpang yg naik di pesawat.. Dari pejabat sampai tukang sol sepatu.. Dari yg diam, berisik sampai yg jail sekalipun ia harus menegur dengan senyum & sopan..

Kamu tidak pernah tahu :
Berapa kali mereka digoda penumpang dalam sehari.. Dari anak muda bau kencur sampai orang tua bau tanah.. & mereka harus tetap berlaku ramah, menghindar dengan halus walau hasrat hati ingin melempar sepatu ke mukanya..

Kamu juga tidak tahu :
Mereka bisa mengatasi pnyakit jantung, asma, dll membantu persalinan.. mengoperasikan emergency equipment.. Mengatasi teroris.. Menjinakkan bom dll karna di pesawat cuma mereka yg bisa kalian andalkan maka pelatihan extra di berikan pada mereka..

Kamu juga tidak tahu :
Mereka berdoa supaya semua lancar selama penerbangan, meraka juga bisa pulang dengan selamat

Kadang kamu melihat mereka tersenyum sejak take-off sampai landing,
Dan kamu tidak tahu,
Jauh di dalam hatinya, mereka menangis rindu keluarga &
Memikirkan ayah bundanya.

- Untuk pramugariku yg cantik, Friska Febrina, Melati Imel, dan tante Elizabeth Orah -

The Best Wedding Gift, Ever.


















When I was a little girl, my father had a time-honored tradition of tucking me into bed. Following my bedtime story, he would give me a nose kiss, tickle my stomach and whisper the most wonderful words into my ear. “Michelle, of all the little girls in the whole wide world . . .” he would pause.

“Yes, Daddy?”

“How did your mommy and I get so lucky to get the best one?”

Before he had time to finish, I would say, “You got me!” And then he would continue, “The best little girl in the whole wide world, and we got you.”

“You got me!” I would scream and clap.

“Yes, you, Michelle, and we’re so lucky.” He would end with a bear hug and another kiss to my forehead.

Years passed and my father never missed a night, even when I thought he should have. After my basketball team was defeated, he came into my room.

“Michelle, of all the basketball players in the whole wide world,” he paused.

“Yes, Daddy?” I stared at the floor.

“How did your mom and I get so lucky to get the best one?”

“You didn’t.”

“Of course we did, Michelle. We have you.”

“But, Dad . . .”

“Yes, you, Michelle, and we’re so lucky,” he cheered, as he gave me a high five followed by a bear hug and a kiss to my forehead. I thought becoming a teenager would end the ritual, but it didn’t.

“Michelle, of all the teenagers in the whole wide world . . .” he would pause.

“Dad, I’m too old for this,” I would sigh.

“How did your mother and I get so lucky to get the best one?”

“C’mon, Dad,” I grunted.

“We have you, Michelle, and we’re so lucky.” Then the embarrassing hug and kiss.

Following college, I became engaged. My father never missed a night to call or leave a message reminding me how special I was to him. I even wondered if he would continue calling after I got married, but he didn’t. The daily calls I had taken for granted all my life ended the day he died from cancer, only weeks before my wedding.

I deeply missed sharing the day with my father.

Standing behind the white church doors with my arm in my brother’s, I waited for the wedding march to begin. Before we began our descent down the aisle, my brother reached inside his pocket and handed me an ivory napkin embroidered with pink ribbon.

Inscribed were the words:

Of all the precious wives in the whole wide world, how did Mark get so lucky to marry the best one? He married you, Michelle, and he is so lucky! I am so proud of you, my little girl. Love,
Dad

Without a doubt, it was the best wedding gift I received. One I would never forget. My father showered me with his gifts every day of his life. How did I get so lucky?

Michelle Marullo

Cewekku Sayang....

Aku merasa sudah tiba saatnya aku punya pacar.
Aku tahu kau ada di suatu tempat diluar sana.
Jangan khawatir , aku akan menemukanmu.
Dan kalau sudah ku temukan, kuharap kau mencintaiku karena aku Derek,
Bukan karena aku adiknya mike.
Kuharap kau tak akan malu kalau bajuku tidak sesuai,
Atau kesal kalau aku ingin nonton Lakers di ESPN,
Bukannya Party of five.
Kuharap kau akan ingat bahwa aku bermain sepak bola,
Bukan rugby, dan bahwa aku memegang posisi tengah, bukan bertahan,
Dan bahwa tiap akhir pekan aku tinggal dengan ayahku.
Aku berdoa semoga kau mencintaiku meski aku cenderung
Melupakan hari ulang tahun.
Dan kalau orang tuamu mengundangku makan malam,
Tolong tuliskan nama mereka ditelapak tanganku supaya aku ingat.
Ketahuilah aku akan selalu bersikap kuat dan penuh kendali,
Tapi didalam, aku sebenarnya tidak tahu harus berbuat apa,
Dan bingung. (Tapi jangan bertahu teman-temanku.)
Jangan khawatir kalau aku melukai diriku sendiri saat main skateboard.
Yang penting kau selalu ada untuk mengobati lukaku dengan ciuman.
Pahamilah bahwa saling mencintai berarti melewatkan waktu bersama-sama,
Tapi tidak sepanjang waktu.
Kita tidak boleh melupakan teman-teman kita.
Juga pahamilah bahwa aku kadang-kadang bersikap cemburu
Serta terlalu melindungi, tapi hanya karena akulah yang merasa tidak yakin
Bukan karena kau berbuat salah.
Dan kalau kita berhenti saling mencintai, kumohon jangan membenciku.
Dan kalau aku menangis didepanmu, kumohon jangan menertawakanku.
Ketahuilah bahwa aku sensitive secara laki-laki.
Bersikaplah jujur kepadaku tanpa menyakiti. Aku kan cowok.
Dan aku berjanji akan selalu bersikap jujur kepadamu,
Karena kau layak diperlakukan dengan jujur.
Dan aku berjanji akan membukakan pintu untukmu
Dan membelikanmu karcis kalau kita nonton bioskop.
Dan tidak, kau tidak gemuk, jadi kumohon jangan terus menerus menanyakannya.
Dan kau tidak perlu memakai make-up. Oh,dan jangan kesal kalau potong rambut
Tapi aku tidak menyadarinya.
Aku akan mencintaimu meski kau hanya pakai levis dan kaus.
Kuharap kau tak menganggap aku terlalu banyak meminta.
Aku hanya ingin bahagia saat membuatmu bahagia.
Aku akan menemukanmu, jadi jangan pergi kemana-mana,
Tetaplah ditempatmu, siapapun kau. Oh ya namaku Derek.
Milikmu selamanya.
Derek whittier

(chicken Soup for Teenage Soul III 12-13)

Cowokku Sayang....

Cowokku Sayang,

Aku tidak tahu siapa kau, atau di mana atau kapan kita akan bertemu, tapi yang jelas aku berharap tak lama lagi.
Aku berdoa semoga ketika kita bertemu dan saling jatuh cinta, kau akan mencintaiku, karena diriku, dan tidak mengharapkan seseorang yang lebih kurus atau lebih cantik. Kuharap kau takkan membandingkanku dengan cewek-cewek yang mungkin punya senyum yang lebih menawan. Kuharap kau akan membuatku tertawa, merawatku kalau aku sakit, dan bisa dipercaya.

Kuharap kau akan ingat bahwa aku lebih suka daisy daripada mawar, dan bahwa warna kesukaanku berubah sesuai dengan suasana hatiku. Ketauhilah mataku bukan biru, tapi abu-abu, dengan sedikit bercak biru tua.

Ketahuilah aku mungkin akan terlalu malu untuk menciummu lebih dulu, tapi kuminta kau jangan takut menciumku. Aku takkan menamparmu atau mendorongmu. Aku yaking ciumanmu akan sempurna. Kalau kita pergi berkencan, kau tidak perlu memeras otak memikirkan akan membawaku ke mana; yang penting aku akan bersamamu.

Kalau aku menangis, ketahuilah penyebabnya bukan kau, yang penting kau memelukku erat-erat, dan aku akan cepat sembuh. Dan jika penyebabnya adalah kau, aku tetap akan sembuh.

Dan jika kita memutuskan untuk berpisah, pahamilah bahwa aku mungkin akan terluka, tapi aku ingin menjadi temanmu jika kauizinkan. Aku berjanji akan ingat bahwa kau juga punya perasaan, meskipun kau takkan pernah mengakuinya, dan kalau kau siap, kita bisa berteman.

Beritahu aku jika ada perbuatanku yang mengganggumu, atau jika ada sesuatu yang terasa tak pas. Aku ingin kau selau bersikap jujur kepadaku. Jika aku mengalami hari yang tidak menyenangkan, kuharap kau akan menghujaniku dengan keyakinan dan senyum.

Kuharap kau tidak berpikir aku meminta terlalu banyak darimu. Kuharap kau mengerti aku agak gugup dan sangat takut. Aku ingin bisa mengatakan bagaimana atau kapan kita akan bertemu, dan apakah kita akan selamanya saling mencintai. Setiap hubungan asmara adalah sebuah permainan kartu yang baru, dan Ah!! Aku tak pernah pandai main kartu. Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk bersikap baik dan sangat mencintaimu karena dirimu seutuhnya, tanpa berharap terlalu banyak darimu. Terima kasih karena telah mendengarkan; hanya ini yang aku minta.

Milikmu selamanya,
Sarah

By. Sarah Bercot

Chicken Soup For The Teenage Soul

9 Deadly Words Used By Women


















If you hear any of these words, chances are you are not going to have a good night. At all.

1. Fine
This is the word women use to end an argument when they are right and you need to shut up.

2) Five Minutes
If she is getting dressed, this means a half an hour. Five minutes is only five minutes if you have just been given five more minutes to watch the game before helping around the house.

3) Nothing
This is the calm before the storm. This means something, and you should be on your toes. Arguments that begin with nothing usually end in fine.

4) Go Ahead
This is a dare, not permission. Don’t Do It!

5) Loud Sigh
This is actually a word, but is a non-verbal statement often misunderstood by men. A loud sigh means she thinks you are an idiot
and wonders why she is wasting her time standing here and arguing with you about nothing. (Refer back to # 3 for the meaning of nothing.)

6) That’s Okay
This is one of the most dangerous statements a women can make to a man. That’s okay means she wants to think long and hard before
deciding how and when you will pay for your mistake.

7) Thanks
A woman is thanking you, do not question, or faint. Just say you’re welcome. (I want to add in a clause here – This is true, unless she says ‘Thanks a lot’ – that is PURE sarcasm and she is not thanking you at all. DO NOT say ‘you’re welcome’ . that will bring on a ‘whatever’).

8 ) Whatever
Is a woman’s way of saying F– YOU!

9) Don’t worry about it, I got it
Another dangerous statement, meaning this is something that a woman has told a man to do several times, but is now doing it herself. This
will later result in a man asking ‘What’s wrong?’ For the woman’s response refer to #3. (source)

Dear Dad...
















A man came home from work late, tired and irritated, to find his 5-year old son waiting for him at the door. “Daddy, may I ask you a question?” “Yeah sure, what is it?” replied the man. “Daddy, how much do you make an hour?” “That’s none of your business. Why do you ask such a thing?” the man said angrily. “I just want to know. Please tell me, how much do you make an hour?” pleaded the little boy. “If you must know, I make $20 an hour.” “Oh,” the little boy replied, with his head down. Looking up, he said, “Daddy, may I please borrow $10?” The father was furious, “If the only reason you asked that is so you can borrow some money to buy a silly toy or some other nonsense, then you march yourself straight to your room and go to bed. Think about why you are being so selfish. I work hard everyday for such this childish behavior.” The little boy quietly went to his room and shut the door. The man sat down and started to get even angrier about the little boy’s questions. How dare he ask such questions only to get some money? After about an hour or so, the man had calmed down, and started to think: Maybe there was something he really needed to buy with that $10 and he really didn’t ask for money very often. The man went to the door of the little boy’s room and opened the door. “Are you asleep, son?” He asked. “No daddy, I’m awake,” replied the boy. “I’ve been thinking, maybe I was too hard on you earlier,” said the man, “It’s been a long day and I took out my aggravation on you. Here’s the $10you asked for.” The little boy sat straight up, smiling. “Oh, thank you daddy!” He yelled. Then, reaching under his pillow he pulled out some crumpled up bills. The man, seeing that the boy already had money, started to get angry again. The little boy slowly counted out his money, then looked up at his father. “Why do you want more money if you already have some?” the father grumbled. “Because I didn’t have enough, but now I do,” the little boy replied. “Daddy, I have $20 now. Can I buy an hour of your time? Please come home early tomorrow. I would like to have dinner with you.”